Beranda | Artikel
Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu
Minggu, 9 Agustus 2020

MAN KUNTU MAULÂHU FA ALIYYUN MAULÂHU

Poin berikutnya dari wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ghadir Khum yang harus kita jaga dan kita laksanakan adalah mencintai sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Kecintaan kita kepada Ali terkait erat dengan kecintaan kita kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berbicara tentang wasiat ketiga ini, terjadi perbincangan di kalangan para peneliti hadits mengenai keshahihan riwayatnya. Para ulama hadits sepakat akan keshahihan hadits tentang khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah pohon dengan redaksi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Zaid bin Arqam sebagaimana diuraikan sebelumnya. Adapun tambahan ucapan dan pembelaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus kepada Ali,

مَن كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ

“Barangsiapa menjadikan aku sebagai walinya, maka jadikan Ali juga sebagai walinya.”

maka ulama hadits berbeda pendapat. Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Albani dan lainnya menshahihkan riwayat tersebut. Ibnu Hazm, Az-Zaila’i, Ibnu Taimiyyah dan lainnya berpendapat mendhaifkannya. Penulis dalam hal ini lebih condong mengikuti pendapat ulama yang menshahihkan.

Selain perbincangan mengenai keshahihan riwayat, ada hal lain terkait poin wasiat ini yang ternyata menjadi perselisihan dalam hal pemahaman dan pemaknaan terhadap kata maulâ (مَوْلَى) di hadits tersebut.

Adalah kelompok Syi’ah Rafidhah, mereka memahami ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Ali di Ghadir Khum, مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ sebagai pengukuhan dan penunjukkan Ali menjadi khalifah sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berpendapat bahwa arti kata maulâ (مَوْلَى) adalah pemimpin dan khalifah. Ini berarti Ali adalah khalifah setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.

Begitu sentralnya peristiwa itu bagi paradigma kaum Syi’ah, dan begitu penting bagi keyakinan mereka, sehingga kaum Syi’ah menyelenggarakan perayaan bernama Ied Al-Ghadir pada setiap tahunnya.

Terhadap pemahaman kaum Syi’ah ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah kendatipun beliau melemahkan riwayat tambahan mengenai ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, beliau berkata seandainya hadits itu shahih maka maknanya sama sekali bukan pengukuhan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu sebagai khalifah sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau meluruskan kesalahan pemahaman kaum Syi’ah tersebut sebagai berikut, “Redaksi dalam hadits di atas tidak menunjukkan pengukuhan khalifah sepeninggal beliau, untuk masalah besar seperti ini harus disampaikan dengan bahasa yang sejelas-jelasnya.[1] Redaksi hadits tersebut sama sekali tidak menunjukkan dengan tegas bahwa yang dimaksud dengan maulâ (مَوْلَى) adalah bermakna khalifah (pemimpin). Maulâ dalam hadits ini bermakna wali (وَلِيٌّ/penolong) sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

”Sesungguhnya penolong kalian (orang-orang yang beriman) hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, mereka yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah).” (Surat Al-Maidah: 55)

إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا ۖ وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلَاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ بَعْدَ ذَٰلِكَ ظَهِيرٌ

“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh, hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebenaran), dan jika kamu berdua saling membantu menyusahkan Nabi, maka sungguh, Allah menjadi pelindungnya dan (juga) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik, dan selain itu, malaikat-malaikat adalah penolongnya.” (Surat At-Tahrim: 4)

Allah menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wali orang-orang beriman dan mereka adalah mawâli beliau (mereka loyal dan membela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Allah juga menjelaskan bahwa Allah adalah wali orang-orang beriman, dan mereka adalah wali-wali Allah, dan sesama orang-orang yang beriman juga menjadi wali bagi sebagian yang lain. Loyalitas lawan dari memusuhi, loyalitas akan menjadi kokoh jika dilakukan dari kedua belah pihak. Allah sebagai penolong memiliki kedudukan yang Agung, pertolonganNya merupakan kebaikan dan karunia. Adapun makhluk sebagai penolong agama Allah, merupakan bentuk ketaatan dan ibadah kepadaNya. Sebagaimana Allah mencintai orang-orang beriman, begitu pula orang-orang beriman mencintai Allah.

Allah wali orang-orang beriman dan juga menjadi maulâ mereka (yakni tempat orang beriman meminta pertolongan), Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wali dan maulâ orang-orang beriman, dan Ali menjadi maulâ orang-orang beriman berkenaan dengan kecintaan dan loyalitas yang merupakan lawan dari permusuhan.

Orang-orang beriman mereka loyal kepada Allah dan RasulNya, loyalitas yang merupakan lawan dari permusuhan. Hukum ini merupakan keniscayaan bagi setiap orang yang beriman. Ali Radhiyallahu anhu merupakan bagian dari orang-orang beriman yang loyal kepada mereka dan mereka pun loyal kepada Ali Radhiyallahu anhu.

Maka jelas sekali perbedaan antara wali atau maulâ (penolong) dengan wâli (وَالٍ /pemimpin). Wali atau maulâ itu pembahasan tentang walâyah (وَلَايَةُ/loyalitas) yang merupakan lawan dari permusuhan, adapun wâli (pemimpin) merupakan pembahasan tentang wilâyah (وِلَايَةُ/kepemimpinan).

Jadi hadits مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُmaka pengertiannya adalah sebagai penolong bukan pemimpin, karena teksnya dengan maulâhu (penolongnya) bukan wâlihi (pemimpinnya).”[2]

Ketidaktepatan dalam mengartikan maulâ dengan “pemimpin” juga dapat dilihat dari lawan kata maulâ pada kelanjutan hadis tersebut. Mari kita perhatikan kembali redaksi lengkapnya beserta kesesuaian artinya:

اللَّهُمّ مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ اللَّهُمَّ وَالِ مَنْ وَالَاهُ وَعَادِمَنْ عَادَاهُ

“Ya Allah, siapa yang telah menjadikanku walinya maka Ali juga menjadi walinya. Ya Allah, tolonglah orang yang menolong Ali dan musuhilah orang yang memusuhi Ali.”

Maka tampak jelas bahwa arti yang dikehendaki dari kata maulâ sebagai “pemimpin” sangat tidak tepat sasaran, sebab kelanjutan hadis tersebut justru menyatakan: “musuhilah orang yang memusuhi Ali.” Jika demikian, maka arti yang tepat untuk kata maulâ dalam hadis tersebut, baik secara teks maupun konteks, adalah “penolong”, sebab kebalikan dari penolong adalah musuh.

Argumen kaum Syiah sejatinya juga bertentangan dengan banyak pengakuan para tokoh Ahlu Bait. Buktinya, ketika Al-Hasan bin Al-Hasan (cucu dari Ali Radhiyallahu anhu) ditanya mengenai hadits ini, apakah merupakan nash bagi kekhilafahan Ali atau bukan? Beliau menjawab, “Tidak! Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghendaki menunjuk Ali sebagai pemimpin atau khalifah dengan hadis ini, tentu beliau akan bersabda, ‘Wahai sekalian manusia, ini adalah penguasa urusanku, dan pemimpin bagi kalian setelahku. Maka tunduk dan patuhlah terhadap segala perintahnya’.”

Dalam kesempatan lain beliau menjawab, “Demi Allah! Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghendaki bahwa yang dimaksud adalah pemimpin atau khalifah, tentu beliau akan mengungkapkannya dengan tegas dan jelas, sebagaimana penjelasan beliau mengenai shalat dan zakat.[3]

Sayyid Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah berkata:
“Adapun hadits tersebut, kami jadikan sebagai petunjuk jalan, kami loyal kepada Ali Al-Murtadha (Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu), kami loyal kepada orang yang loyal kepada beliau, dan kami memusuhi orang yang memusuhi beliau. Ini semua kami lakukan sebagai bentuk loyalitas kami kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan keluarganya. Kami beriman bahwa keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin bersepakat untuk menyelisihi Al-Quran. Sesungguhnya Al-Quran dan keluarga beliau merupakan wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagaimana hadits shahih (di Ghadir) dan selain Ghadir. Apabila keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersepakat atas suatu perkara maka kami terima dan kami ikuti, dan jika mereka berselisih dalam satu perkara maka kami kembalikan kepada Allah dan RasulNya.”[4]

Maksudnya bahwa kesepakatan keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Jika keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak sepakat dalam satu masalah maka kita kembalikan kepada Al-Quran dan As-Sunnah.

[Disalin dari Buku WASIAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DI GHADIR KHUM, Penulis Fariq Gasim Anuz]
______
Footnote
[1] Artinya jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi wasiat dan menunjuk pengganti beliau sebagai pemimpin kaum muslimin tentu akan disampaikan dengan bahasa yang sangat jelas. Wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ghadir Khum disampaikan dengan bahasa yang jelas dan sangat dipahami oleh para Sahabat bahwa isinya tidak ada pengukuhan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu sebagai Imam sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[2] Mukhtashar Minhâjus Sunnah, halaman 432-433.
[3] Al-I’tiqâd wal Hidâyah, halaman 355-356.
[4] Tafsir Al-Manâr (6/386).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/20128-man-kuntu-maulahu-fa-aliyyun-maulahu.html